Jumat, 04 April 2014

Jaring] Lepaskan Papua dari "NKRI" !

Pertama-tama harus saya klerufikasi dulu yah .....
bahwasanya SOLUSI melepaskan Papua dari "NKRI" 
- yang sama dengan Neo-Kolonialisme (dalam bentuk)
Republik Indonesia - adalah salah satu dari 2 (dua)
SOLUSI yang saya sarankan - solusi yang kedua adalah
pemindahan ibokota, yang nanti lagi kita bahas - untuk
menyelesaikan MASALAH KITA, bukan untuk menyelesaikan
masalah Papua. Kalo' kemudian, tindakan melepaskan 
Papua dari "NKRI" ini kelak NANTI-nya menjadi semacam 
"pintu masuk" ke penyelesaian masalah Papua, ..... ya 
alhamdulillah, ...... tapi itu semua masalah Papua 
(termasuk masalah "pemekaran" jadi beberapa provinsi, 
masalah pengambil-alihan Freeport, masalah "koteka", 
dan laen-laen) adalah bangsa  Papua punya urusan, 
bukan MASALAH KITA lagi. Salah satu ciri bangsa MERDEKA
adalah mampu menyelesaikan masalah-masalah-nya sendiri
tanpa campur-tangan bangsa laen. Kalo' masalah Papua
masih harus kita yang menyelesaikannya, yah .....
artinya kita masih me-"londo"-i mereka dong ....

MASALAH KITA, .... adalah masalah PENIPUAN BESAR ! 
Tadi malam di acara "Indonesian Lawyers Club" TV-One,
Karni Ilyas mengatakan "rakyat dikibulin terus....". 
Betul itu, kita memang dikibulin terus, sejak 27 Desember 
1949, sampai sekarang. Yang ngibulin adalah para "londo",
dan yang dikibulin adalah para "inlander", yang dalam
kasus Papua adalah mereka yang ber-kotek-kotek pake'
koteka, walau pun cuma dalam acara-acara "tertentu"....
Setelah Karni Ilyas, ada seorang gurubesar Agraria
tegas mengatakan bahwa keadaan sekarang itu SAMA dengan
di jaman kolonial ! Namanya saja doeloe "onderneming",
sekarang HGU, HTI, dan se-abreg istilah yang sama saja
secara substansial-nya: neo-kolonialisme!....

(Koran lokal hari ini memberitakan bahwa Papua itu 50
 kali - baca: LIMAPULUH KALI - lebih miskin daripada 
 DKI, dan 5 kali lebih miskin dari rata-rata tingkat
 kemiskinan nasional !)

Jadi memang akar MASALAH KITA adalah karena sejak 27
Desember 1949 kita sudah mulai ditipu oleh para "londo",
yang sebenarnya telah mengingkari dan mengkhianati visi
kemerdekaan yang dituliskan dalam dokumen sejarah Piagam
Jakarta 22 Juni 1945 ....... Dan yang paling tertipu 
di antara para "inlander" adalah yang ber-kotek-kotek 
pake' "koteka", saudara-saudara kita bangsa Papua !
Olehnya itu, melepaskan Papua adalah salah satu dari
dua solusi yang saya sarankan, untuk menjadi penyelesaian
MASALAH KITA, masalah "NKRI" = "Neo-Kolonialisme (dalam
bentuk) Republik Indonesia" !

Kita mulai dulu dengan membahas asal-mula. Kalo' kita baca
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia, maka 
penemu nama "Indunesia" jelas secara etnologis tidak 
meng-kategori-kan bangsa Papua sebagai bangsa "Indunesia"
itu. Padahal artikel yang ditulis oleh ahli etnologi bangsa 
Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865) itu terbit
tahun 1849 pada jaman Belanda. Yang dimaksudkan sebagai 
"Indunesia" itu adalah pulau-pulau yang penduduknya 
tergolong dalam ras Melayu dan menggunakan bahasa Melayu.
Semenanjung Melayu yang walau pun penduduknya termasuk
ras Melayu dan menggunakan bahasa Melayu, tapi semenanjung
itu bukan pulau, jadi per definisi-nya Earl, ndak masuk ke
"Indunesia". Lebih layak pulau Tumasik (yang sekarang jadi
Singapura) dan kepulauan Filipina - khususnya yang di bagian
selatan - untuk dikategorikan sebagai "Indunesia" daripada
Semenanjung Melayu, apalagi Papua!

Jadi satu-satunya alasan kenapa potongan Papua bagian 
barat itu menjadi bagian dari "Indonesia" saat ini, adalah
HANYA karena doeloe-nya potongan Papua itu merupakan bagian
dari koloni Belanda, dan karena Belanda telah menyerahkan
kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, maka kita pun
merasa berhak untuk me-"londo"-i para "inlander" bangsa 
Papua itu selamanya ........ Ini jelas-jelas telah 
mengingkari dan mengkhianati spirit Piagam Djakarta 22
Juni 1945, yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah HAK
segala bangsa, dan oleh sebab itu semua BENTUK PENJAJAHAN
di muka bumi ini harus dihapuskan, termasuk yang "dibungkus"
oleh yang namanya "nasionalisme" sekali pun ......!

Nah, selanjutnya kita bisa membahas "untung-rugi"...... 
Selama 40 tahun sejak 1971 diselenggarakan PEPERA, sampai
hari ini (ketika para pekerja Freeport menghentikan 
mogok-nya dan membuka blokiran jalan), bisa kita hitung-
hitung lah, apakah potongan Papua bagian barat yang kita
"kuasai" itu menjadi BEBAN (liability) bagi republik
ini atau malah menghasilkan KEUNTUNGAN. Jika memang 
merupakan BEBAN, yah, jelaslah .... ini menguatkan alasan
untuk melepaskan potongan Papua itu. Lha wong BEBAN kok
di-ingu (dipelihara, bahasa Jawa)? Beban kita yang laen
masih banyak kok mau-maunya menanggung beban terus-menerus.
Lepaskan saja. Sebaliknya, jika memang penguasaan potongan
Papua bagian barat itu MENGUNTUNGKAN kita (secara ekonomis),
maka ini merupakan indikasi yang menguatkan kenyataan "pahit"
bahwa kita memang telah me-"londo"-i bangsa Papua. Itu
berarti kita telah mengkhianati cita-cita kemerdekaan 
kita sendiri. Salah satu bentuk penjajahan adalah menjadikan
suatu wilayah menjadi koloni, dan penduduknya menjadi
"inlander", lantas yang menjadi "londo"-nya mengambil
keuntungan yang sebesar-besarnya dari "koloni" itu. 
Jadi either way, ya tetap Papua bagian barat itu 
sebaiknya dilepaskan saja..... 

Nah, mau dipake' judul pembahasannya apa saja, mau 
dijuduli "asal-mula" kek, "untung-rugi" kek, "koteka"
kek ...... ujung-ujungnya tetap pada kesimpulan bahwa 
selama 40 tahun sejak tahun 1971 itu, Papua telah 
menjadi KOLONI kita. Berarti kita memang telah 
menerapkan kolonialisme di Papua, yang jelas-jelas 
mengkhianati spirit Piagam Djakarta 22 Juni 1945 ....

Sebagai "benteng terakhir", marilah kita uji hati-nurani
kita sendiri. Hati-nurani biasanya tidak berbohong,
kecuali kalo' sudah kebanyakan "noise"-nya .....

Seandainya potongan Papua bagian barat itu kita 
lepaskan dari "NKRI" ini, bagaimana tanggapan "hati-
nurani" kita? Kalo' ada perasaan "sayang" di hati 
kita, berarti memang hati-nurani kita sudah 
kebanyakan noise kolonialisme-nya. Kita menyayangkan 
lepasnya Papua seperti seolah-olah kita "kehilangan" 
barang "milik kita". Padahal, sejak kapan potongan 
Papua itu jadi "milik kita"? Sang Pencipta men-takdir-
kan tanah Papua itu jadi SATU pulau yang besar, kemudian
kaum kolonialis membelahnya jadi dua potongan koloni,
lalu kita mewarisinya dari kaum kolonial dengan 
me-"nasionalisasi" (baca: kolonialisasi)-kannya ........ 
sekarang kita meneruskan kolonialisasi itu, mengambil
keuntungan daripadanya, makanya kita merasa sayang untuk
melepaskannya....

Nah, kalo' kita ndak setuju melepaskan Papua karena
hati kita khawatir negara ini akan "mrotoli" atau
"mreteli" sehingga kelak lepasnya Papua akan diikuti
oleh wilayah-wilayah laen, maka sebenarnya hati-nurani
kita secara tidak langsung mengakui bahwa selama ini
memang sebagian (kecil) dari kita sudah me-"londo"-i
sebagian (besar) dari kita laennya yang status-nya 
tetap kita jadikan "inlander" seperti yang dicita-citakan
oleh londo yang sesungguhnya sejak tahun 1602. Sebenarnya
kalo' melepaskan Papua itu kita sertai dengan tekad bahwa
setelah itu kita akan berubah drastis, yang "londo" di
antara kita tidak akan lagi menjadi "londo", demikian
pula yang "inlander" di antara kita tidak mau lagi jadi
"inlander", dan kita SEMUA menjadi MERDEKA sepenuhnya,
maka insya Allah wilayah negeri ini tidak akan "mrotoli",
....... bahkan sebaliknya, mungkin malah akan bertambah
dengan potongan-potongan di pulau Kalimantan bagian 
utara, bahkan sampai ke Filipina selatan ....

Kalo' kita merasa hati-nurani kita tidak mau melepaskan
Papua dari "NKRI" hanya karena terkenang pada nostalgia 
masa lalu, karena teringat kepada Herlina di "Pending Emas",
atau Komodor Yos Sudarso yang gugur di Laut Aru, atau
para "sukarelawan-sukarelawan" yang telah bersedia 
mengorbankan nyawanya .............. yah, berarti
memang "level nasionalisme" kita baru sampai level
"sentimental" yang terpengaruh (sebenarnya TERTIPU lah)
oleh retorika-retorika para pemimpin masa lalu yang 
setelah 27 Desember 1949 dihanyutkan oleh ambisi
(pribadi) mereka untuk me-"londo"-i bangsanya sendiri,
dan bangsa-bangsa laen di seputar Nusantara. Untuk
itu, kita musti meng-upgrade "nasionalisme sentimental"
kita itu menjadi nasionalisme yang lebih rasional .....
Semoga posting-posting saya bisa mencerahkan hati-nurani
yang "sentimental" ini, atau setidaknya menggugah lah...

Jadi, marilah kita lepaskan Papua bagian barat itu. 
Memang akan terasa susah, tapi ndak usah buru-buru,
kita kasih "dead-line" sampai 27 Desember 2049......
sebab memang tidak mudah menghilangkan "kolonialisme"
di hati kita yang sudah dibangun oleh londo sejak 400
tahun yang lalu ..... Tidak mudah membuyarkan angan-angan
sebuah negara yang meliputi dari Sabang sampai Merauke,
yang sungguh-sungguh bersih dari "noise" kolonialisme kok....

Pertanyaan berikutnya: kalo' Papua akan kita lepaskan 
dari "NKRI", kita melepaskannya ke siapa? Ke pemerintah
daerah provinsi-provinsi yang ada, atau ke pemerintah
Papua Nugini di Port Moresby, atau ke OPM, .......atau
ke mana? Saya sendiri saat ini cenderung untuk melepaskannya
ke suatu lembaga se-level PBB, sebagaimana doeloe 40 tahun
yang lalu kita mendapatkannya dari lembaga semacam itu 
(kalo' ndak salah namanya UNTEA, yah?). Lembaga itu 
nantinya bertugas mengawasi proses di Papua bagian barat
itu supaya belajar MERDEKA sepenuhnya, tidak saling 
me-"londo"-i sesama mereka, atau bahkan di-"londo"-i
bangsa laen lagi ..... 

Saya kira itu saja lah sementara tentang pelepasan Papua
yang telah saya usulkan sebagai salah satu dari dua
SOLUSI untuk menyelesaikan MASALAH KITA: "NKRI" = 
Negara Kesatuan (dalam bentuk) Republik Indonesia.
Selanjutnya nanti tentang pemindahan ibukota ke 
Palangkaraya .....

Cheers !

Wassalam, Rhiza
rhiza at unhas.ac.id 
http://www.unhas.ac.id/rhiza/ 

0 komentar:

Posting Komentar

KOLEKSI FOTO

|