Pertama-tama harus saya klerufikasi dulu yah ..... bahwasanya SOLUSI melepaskan Papua dari "NKRI" - yang sama dengan Neo-Kolonialisme (dalam bentuk) Republik Indonesia - adalah salah satu dari 2 (dua) SOLUSI yang saya sarankan - solusi yang kedua adalah pemindahan ibokota, yang nanti lagi kita bahas - untuk menyelesaikan MASALAH KITA, bukan untuk menyelesaikan masalah Papua. Kalo' kemudian, tindakan melepaskan Papua dari "NKRI" ini kelak NANTI-nya menjadi semacam "pintu masuk" ke penyelesaian masalah Papua, ..... ya alhamdulillah, ...... tapi itu semua masalah Papua (termasuk masalah "pemekaran" jadi beberapa provinsi, masalah pengambil-alihan Freeport, masalah "koteka", dan laen-laen) adalah bangsa Papua punya urusan, bukan MASALAH KITA lagi. Salah satu ciri bangsa MERDEKA adalah mampu menyelesaikan masalah-masalah-nya sendiri tanpa campur-tangan bangsa laen. Kalo' masalah Papua masih harus kita yang menyelesaikannya, yah ..... artinya kita masih me-"londo"-i mereka dong .... MASALAH KITA, .... adalah masalah PENIPUAN BESAR ! Tadi malam di acara "Indonesian Lawyers Club" TV-One, Karni Ilyas mengatakan "rakyat dikibulin terus....". Betul itu, kita memang dikibulin terus, sejak 27 Desember 1949, sampai sekarang. Yang ngibulin adalah para "londo", dan yang dikibulin adalah para "inlander", yang dalam kasus Papua adalah mereka yang ber-kotek-kotek pake' koteka, walau pun cuma dalam acara-acara "tertentu".... Setelah Karni Ilyas, ada seorang gurubesar Agraria tegas mengatakan bahwa keadaan sekarang itu SAMA dengan di jaman kolonial ! Namanya saja doeloe "onderneming", sekarang HGU, HTI, dan se-abreg istilah yang sama saja secara substansial-nya: neo-kolonialisme!.... (Koran lokal hari ini memberitakan bahwa Papua itu 50 kali - baca: LIMAPULUH KALI - lebih miskin daripada DKI, dan 5 kali lebih miskin dari rata-rata tingkat kemiskinan nasional !) Jadi memang akar MASALAH KITA adalah karena sejak 27 Desember 1949 kita sudah mulai ditipu oleh para "londo", yang sebenarnya telah mengingkari dan mengkhianati visi kemerdekaan yang dituliskan dalam dokumen sejarah Piagam Jakarta 22 Juni 1945 ....... Dan yang paling tertipu di antara para "inlander" adalah yang ber-kotek-kotek pake' "koteka", saudara-saudara kita bangsa Papua ! Olehnya itu, melepaskan Papua adalah salah satu dari dua solusi yang saya sarankan, untuk menjadi penyelesaian MASALAH KITA, masalah "NKRI" = "Neo-Kolonialisme (dalam bentuk) Republik Indonesia" ! Kita mulai dulu dengan membahas asal-mula. Kalo' kita baca http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia, maka penemu nama "Indunesia" jelas secara etnologis tidak meng-kategori-kan bangsa Papua sebagai bangsa "Indunesia" itu. Padahal artikel yang ditulis oleh ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865) itu terbit tahun 1849 pada jaman Belanda. Yang dimaksudkan sebagai "Indunesia" itu adalah pulau-pulau yang penduduknya tergolong dalam ras Melayu dan menggunakan bahasa Melayu. Semenanjung Melayu yang walau pun penduduknya termasuk ras Melayu dan menggunakan bahasa Melayu, tapi semenanjung itu bukan pulau, jadi per definisi-nya Earl, ndak masuk ke "Indunesia". Lebih layak pulau Tumasik (yang sekarang jadi Singapura) dan kepulauan Filipina - khususnya yang di bagian selatan - untuk dikategorikan sebagai "Indunesia" daripada Semenanjung Melayu, apalagi Papua! Jadi satu-satunya alasan kenapa potongan Papua bagian barat itu menjadi bagian dari "Indonesia" saat ini, adalah HANYA karena doeloe-nya potongan Papua itu merupakan bagian dari koloni Belanda, dan karena Belanda telah menyerahkan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949, maka kita pun merasa berhak untuk me-"londo"-i para "inlander" bangsa Papua itu selamanya ........ Ini jelas-jelas telah mengingkari dan mengkhianati spirit Piagam Djakarta 22 Juni 1945, yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah HAK segala bangsa, dan oleh sebab itu semua BENTUK PENJAJAHAN di muka bumi ini harus dihapuskan, termasuk yang "dibungkus" oleh yang namanya "nasionalisme" sekali pun ......! Nah, selanjutnya kita bisa membahas "untung-rugi"...... Selama 40 tahun sejak 1971 diselenggarakan PEPERA, sampai hari ini (ketika para pekerja Freeport menghentikan mogok-nya dan membuka blokiran jalan), bisa kita hitung- hitung lah, apakah potongan Papua bagian barat yang kita "kuasai" itu menjadi BEBAN (liability) bagi republik ini atau malah menghasilkan KEUNTUNGAN. Jika memang merupakan BEBAN, yah, jelaslah .... ini menguatkan alasan untuk melepaskan potongan Papua itu. Lha wong BEBAN kok di-ingu (dipelihara, bahasa Jawa)? Beban kita yang laen masih banyak kok mau-maunya menanggung beban terus-menerus. Lepaskan saja. Sebaliknya, jika memang penguasaan potongan Papua bagian barat itu MENGUNTUNGKAN kita (secara ekonomis), maka ini merupakan indikasi yang menguatkan kenyataan "pahit" bahwa kita memang telah me-"londo"-i bangsa Papua. Itu berarti kita telah mengkhianati cita-cita kemerdekaan kita sendiri. Salah satu bentuk penjajahan adalah menjadikan suatu wilayah menjadi koloni, dan penduduknya menjadi "inlander", lantas yang menjadi "londo"-nya mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari "koloni" itu. Jadi either way, ya tetap Papua bagian barat itu sebaiknya dilepaskan saja..... Nah, mau dipake' judul pembahasannya apa saja, mau dijuduli "asal-mula" kek, "untung-rugi" kek, "koteka" kek ...... ujung-ujungnya tetap pada kesimpulan bahwa selama 40 tahun sejak tahun 1971 itu, Papua telah menjadi KOLONI kita. Berarti kita memang telah menerapkan kolonialisme di Papua, yang jelas-jelas mengkhianati spirit Piagam Djakarta 22 Juni 1945 .... Sebagai "benteng terakhir", marilah kita uji hati-nurani kita sendiri. Hati-nurani biasanya tidak berbohong, kecuali kalo' sudah kebanyakan "noise"-nya ..... Seandainya potongan Papua bagian barat itu kita lepaskan dari "NKRI" ini, bagaimana tanggapan "hati- nurani" kita? Kalo' ada perasaan "sayang" di hati kita, berarti memang hati-nurani kita sudah kebanyakan noise kolonialisme-nya. Kita menyayangkan lepasnya Papua seperti seolah-olah kita "kehilangan" barang "milik kita". Padahal, sejak kapan potongan Papua itu jadi "milik kita"? Sang Pencipta men-takdir- kan tanah Papua itu jadi SATU pulau yang besar, kemudian kaum kolonialis membelahnya jadi dua potongan koloni, lalu kita mewarisinya dari kaum kolonial dengan me-"nasionalisasi" (baca: kolonialisasi)-kannya ........ sekarang kita meneruskan kolonialisasi itu, mengambil keuntungan daripadanya, makanya kita merasa sayang untuk melepaskannya.... Nah, kalo' kita ndak setuju melepaskan Papua karena hati kita khawatir negara ini akan "mrotoli" atau "mreteli" sehingga kelak lepasnya Papua akan diikuti oleh wilayah-wilayah laen, maka sebenarnya hati-nurani kita secara tidak langsung mengakui bahwa selama ini memang sebagian (kecil) dari kita sudah me-"londo"-i sebagian (besar) dari kita laennya yang status-nya tetap kita jadikan "inlander" seperti yang dicita-citakan oleh londo yang sesungguhnya sejak tahun 1602. Sebenarnya kalo' melepaskan Papua itu kita sertai dengan tekad bahwa setelah itu kita akan berubah drastis, yang "londo" di antara kita tidak akan lagi menjadi "londo", demikian pula yang "inlander" di antara kita tidak mau lagi jadi "inlander", dan kita SEMUA menjadi MERDEKA sepenuhnya, maka insya Allah wilayah negeri ini tidak akan "mrotoli", ....... bahkan sebaliknya, mungkin malah akan bertambah dengan potongan-potongan di pulau Kalimantan bagian utara, bahkan sampai ke Filipina selatan .... Kalo' kita merasa hati-nurani kita tidak mau melepaskan Papua dari "NKRI" hanya karena terkenang pada nostalgia masa lalu, karena teringat kepada Herlina di "Pending Emas", atau Komodor Yos Sudarso yang gugur di Laut Aru, atau para "sukarelawan-sukarelawan" yang telah bersedia mengorbankan nyawanya .............. yah, berarti memang "level nasionalisme" kita baru sampai level "sentimental" yang terpengaruh (sebenarnya TERTIPU lah) oleh retorika-retorika para pemimpin masa lalu yang setelah 27 Desember 1949 dihanyutkan oleh ambisi (pribadi) mereka untuk me-"londo"-i bangsanya sendiri, dan bangsa-bangsa laen di seputar Nusantara. Untuk itu, kita musti meng-upgrade "nasionalisme sentimental" kita itu menjadi nasionalisme yang lebih rasional ..... Semoga posting-posting saya bisa mencerahkan hati-nurani yang "sentimental" ini, atau setidaknya menggugah lah... Jadi, marilah kita lepaskan Papua bagian barat itu. Memang akan terasa susah, tapi ndak usah buru-buru, kita kasih "dead-line" sampai 27 Desember 2049...... sebab memang tidak mudah menghilangkan "kolonialisme" di hati kita yang sudah dibangun oleh londo sejak 400 tahun yang lalu ..... Tidak mudah membuyarkan angan-angan sebuah negara yang meliputi dari Sabang sampai Merauke, yang sungguh-sungguh bersih dari "noise" kolonialisme kok.... Pertanyaan berikutnya: kalo' Papua akan kita lepaskan dari "NKRI", kita melepaskannya ke siapa? Ke pemerintah daerah provinsi-provinsi yang ada, atau ke pemerintah Papua Nugini di Port Moresby, atau ke OPM, .......atau ke mana? Saya sendiri saat ini cenderung untuk melepaskannya ke suatu lembaga se-level PBB, sebagaimana doeloe 40 tahun yang lalu kita mendapatkannya dari lembaga semacam itu (kalo' ndak salah namanya UNTEA, yah?). Lembaga itu nantinya bertugas mengawasi proses di Papua bagian barat itu supaya belajar MERDEKA sepenuhnya, tidak saling me-"londo"-i sesama mereka, atau bahkan di-"londo"-i bangsa laen lagi ..... Saya kira itu saja lah sementara tentang pelepasan Papua yang telah saya usulkan sebagai salah satu dari dua SOLUSI untuk menyelesaikan MASALAH KITA: "NKRI" = Negara Kesatuan (dalam bentuk) Republik Indonesia. Selanjutnya nanti tentang pemindahan ibukota ke Palangkaraya ..... Cheers ! Wassalam, Rhiza rhiza at unhas.ac.id http://www.unhas.ac.id/rhiza/
0 komentar:
Posting Komentar