Oleh : Matius Murib*
Sejak tahun 1969-1984 diperkirakan sekitar
300.000 orang atau sekitar 30 persen penduduk Papua menjadi sasaran
operasi militer dan tindak kekerasan lain oleh aparat negara sejak tahun
1969. Sebagian meninggal dunia karena pemboman wilayah (aerial
bombardment), yang juga menghancurkan ekologi dan perikehidupan rakyat
setempat untuk waktu lama.
Kelaparan, tidak adanya akses kesehatan dan pengejaran terhadap
penduduk seringkali terjadi di pedesaan sementara kaum terpelajar
menjadi sasaran di kota-kota. Di sini pula kita melihat program Keluarga
Berencana (KB) yang dibanggakan oleh Orde Baru sebagai jalan mengontrol
kepadatan penduduk justru menjadi cara ampuh untuk menghalangi
berkembangnya orang Papua.
Konteks Pilkada di kota, kabupaten dan provinsi
sangat berpotensi konflik dan seringkali korban berdarah-darah untuk
mencapai tujuan politik dan kekuasaan. Pesta demokrasi seharusnya
dijalankan sesuai peraturan dan mekanisme yang diatur dan berlaku, namun
tidak dapat disangkal money politik menjadi cara ampuh dan sistem
kumpul suara atau sistem noken menjadi masalah lain yang mewarnai proses
pemilukada.
Bayang-bayang ancaman terseret koruptor, menjadi alat kontrol sosial
yang memberikan warning kepada pejabat dan birokrasi pemerintahan.
Seringkali berbagai cara ditempuh untuk mencari aman dari jerah hukum
atas tuduhan kasus korupsi dan bermasalah bagi kemajuan karier dan masa
depannya.
Dalam kondisi demikian sosial control masyarakat melalui komunitas
indepeden amat dibutuhkan peran aktifnya, demi tegaknya hukum, demokrasi
dan hak asasi manusia bagi semua. Utamanya TNI dan Polri seharusnya
tetap profesional tidak berbisnis dan berpolitik, sehingga dapat
dipercaya publik.
Disamping itu stigmanisasi terhadap penduduk asli Papua separatis,
makar dan OPM masih melemahkan semangat juang demi tegaknya keadilan dan
kedamaian di tanah Papua. Pasal 106 KUHP masih digunakan oleh aparat
penegak hukum, padahal tidak lagi relevan dalam konteks Papua hari ini.
Semua kondisi Papua dapat juga dipengaruhi oleh peta dan kepentingan
politik dan kepentingan ekonomi tingkat nasional, regional dan
internasional, terutama dominasi negara-negara yang mempunyai hak Veto
di PBB, seperti: Inggris, Prancis, China, Rusia dan Amerika Serikat.
Penguasaan ekonomi dunia dan ancaman teroris menjadi perhatian para
pihak di level internasional.
Semua kita semua dapat membaca potensi, peluang dan ancaman yang
masih melilit di sekitar kita dan terus berkontribusi untuk merubah
situasi sosial-politik ke arah yang lebih maju, adil, damai dan
sejahterah di tanah Papua yang kaya raya ini. ***
*Penulis : Pembela HAM, Direktur Baptist Voice Papua
Jumat, 04 April 2014
LATAR BELAKANG TERJADINYA PELANGGARAN HAM DI TANAH PAPUA
01.19
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar