Sebagai Peraih Penghargaan Internasional di Bidang Hak Asasi Manusia John Humphrey Freedom Award Tahun 2005 dari Canada dan selaku salah seorang anak asli Papua, saya memprotes keras dan menolak dengan tegas pernyataan dan permintaan Gubernur Papua Lukas Enembe yang mengatakan agar kita melupakan pelanggaran HAM dengan alasan kini sudah reformasi di Indoensia.
Hal itu dikatakannya seusai dia menerima kunjungan para Menlu Negara MSG, Senin (13/1/14) lalu di Jayapura-Papua.
Pernyataan tersebut adalah keliru dan sangat bodoh, karena soal pelanggaran HAM di Tanah Papua adalah merupakan memoria pasionis yang dialami hampir merata oleh semua anak Papua secara turun temurun sejak tahun 1963 ketika terjadi alih kekuasaan administratif pemerintahan atas tanah ini dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kepada Indonesia yang hingga kini masih menuai perbedaan pemahaman yang sangat tajam.
Pelanggaran HAM di Tanah Papua adalah penderitaan berkepanjangan rakyat Papua, terlebih orang asli Papua yang sudah terjadi secara sistematis dalam bentuk pembunuhan kilat (summary execution), penghilangan paksa, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penganiayaan, penahanan sewenang-wenang di luar proses hukum hingg genosida.
Bentuk-bentuk tindakan pelanggaran HAM tersebut termasuk jelas-jelas di dalam kategori pelanggaran HAM Berat sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sehingga secara hukum terdapat cukup alasan kuat bagi rakyat Papua untuk terus mempersoalkannya dan mendesak untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku baik dalam konteks nasional di Indoensia maupun dengan menggunakan mekanisme dan instrumen internasional di bidang HAM yang berlaku.
Pernyataan Lukas Enembe bahwa persoalan pelanggaran HAM sudah dapat bisa diatasi dengan adanya era reformasi dan keberadaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah pembohongan paling menyakitkan dan memalukan bagi orang Papua. Karena nyata-nyata semenjak reformasi itulah justru pelanggaran HAM yang paling sadis, keji dan busuk terus meningkat dari waktu ke awaktu sejak 1998 hingga hari ini di Tanah Papua.
Nampak sekali Lukas Enembe buta terhadap kasus pelanggaran HAM paling sadis yang sedang terjadi di depan pelupuk matanya, dimana Markus Haluk, Mama Yosepha Alomang dan sekitar 40-an aktivis perjuangan Papua lainnya sedang ditangkap, dianiaya dan ditahan ketika berlangsungnya kunjungan para Menlu MSG dari Papua New Guinea, Fiji dan Kepulauan Solomon yang diantaranya bertemu Enembe di Jayapura.
Sehingga dia dengan gampang dan enteng mengatakan lupana pelanggaran HAM di Tanah Papua, padahal pelanggaran HAM adalah inti soal yang menyebabkan adanya desakan rakyat Papua melalui Kongres Papua II Mei-Juni 2000 untuk perlu adanya penyelesaian secara hukum, hingga diadopsi dan diatur dalam pasal 44 dan pasal 45 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Tapi hingga dewasa ini implementasinya sama sekali tidak berjalan, karena tidak adanya kemauan politik yang baik dari pemerintah Indonesia.
Yan Christian Warinussy adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM "John Humphrey Freedom Award" Tahun 2005 dari Canada/Anggota Steering Commitee Foker LSM se-Tanah Papua/Sekretaris Komisi HAM, Perdamaian, Keadilan dan Keutuhan Ciptaan Badan Pekerja Klasis GKI Manokwari/Pekerja HAM (Human Rights Defender di Tanah Papua).
0 komentar:
Posting Komentar