Sejumlah
organisasi di Papua dan Papua Barat tampaknya terus menerus melakukan
manuver politiknya untuk menginternasionalisasi masalah Papua dengan
menjadikan isu pelanggaran HAM di Papua Barat dan Papua sebagai isu
sentralnya, walaupun konon kalangan aktivis Papua ini juga tidak dapat
memberikan bukti-bukti yang kuat telah terjadi pelanggaran HAM.
Bahkan,
ada rumor di antara kalangan aktivis Papua sebenarnya sudah mengetahui
jika Parlemen Eropa (PE) menaruh concern atas permasalahan di Papua dan
Papua Barat, terutama kasus pelanggaran HAM-nya. Sebab Baroness
Catherine Ashton (High Representative of the Union for Foreign Affairs
and Security Policy) juga sudah mengetahuinya.
Namun
anehnya salah seorang anggota PE menyatakan masukan atau ocehan anggota
PE ke Baroness Catherine Ashton tidak memiliki dampak politik karena
masukan sejenis banyak dilayangkan oleh anggota PE dan Comprehensive and
Partnership Cooperation Agreement (PCA), karena PE menjamin secara
hukum NKRI.
Tidak hanya itu saja, anggota PE
ini juga mengakui saat reses di Parlemen Eropa (PE) dia cuti di daerah
yang tidak terjangkau internet, namun mendapatkan informasi jika anggota
PE lainnya mendapatkan tekanan dari NGO asal dua negara Eropa Barat
untuk mengeluarkan surat tersebut, bahkan surat tersebut sudah dibuat
oleh LSM tersebut dan bukan dari kantor salah seorang anggota PE.
Bahkan,
anggota PE ini menyatakan bahwa dirinya tidak melakukan konsultasi
terlebih dahulu, karena surat tersebut berisi fakta yang ngawur dan
tidak sesuai dengan semangat PCA.
"Surat
tersebut telah memberikan ruang kepada OPM untuk memutarbalikkan situasi
di lapangan, karena memberi kesan bahwa PE sebagai suatu kesatuan
institusi mendukung dialog yang mengarah kepada referendum. Namun, PE
tidak sama sekali menyetujui referendum di Papua dan Papua Barat,"
ujarnya.
Menurut Ana Gomes dan Sir Graham
Watson di beberapa media massa nasional dan internasional yang mengutip
pernyataannya bahwa posisi Uni Eropa atas isu Papua dalam berbagai
kesempatan tetap sama yaitu mendukung keutuhan NKRI, isu HAM dibicarakan
dalam dialog HAM antara Indonesia-Uni Eropa serta dialog di Indonesia
adalah dialog demi kesejahteraan rakyat Papua dalam kerangka NKRI.
Dari
pernyataan tersebut, nampak jelas bahwa Parlemen Eropa dan Uni Eropa
memandangkan masalah internasionalisasi Papua yang diperjuangkan
sekelompok sangat kecil di Papua dan Papua Barat yang didukung beberapa
kelompok kepentingan di Jakarta, ternyata tidak perlu ditanggapi karena
upaya internasionalisasi tersebut berpotensi merusak Comprehensive and
Partnership Cooperation Agreement (PCA) antara Indonesia dengan Uni
Eropa.
Sebagai informasi dan untuk diketahui
oleh Parlemen Eropa bahwa kelompok TPN-OPM terus melakukan aksi
kekerasan bersenjata untuk menunjukkan eksistensinya, seperti kejadian
tanggal 5 April 2014 di perbatasan RI-PNG Skow-Wutung, Papua, sekitar 40
anggota kelompok bersenjata melakukan penutupan akses jalan dan
pengibaran bendera Bintang Kejora.
Dalam
kaitan ini, aparat keamanan yang berupaya menurunkan bendera Bintang
Kejora terlibat kontak tembak, menewaskan 2 anggota kelompok bersenjata
dan 2 aparat terluka.
Sebelumnya pada 3 April
2014 di Sentani, Kabupaten Jayapura, Markas Komando Pusat Tentara
Revolusi Papua Barat (TRWP) mengeluarkan perintah operasi yang
ditandatangani Mathias Wenda (Panglima Tertinggi TRWP) untuk mengganggu
pelaksanaan Pemilu di Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten
Keerom, dan kawasan perbatasan RI-PNG. TRWP bersama anggota militan KNPB
juga akan menyerang pos-pos TNI/Polri di perbatasan RI-PNG Wutung, Koya
(Distrik Muara Tami), Arso (Kabupaten Keerom), Abepura, Waena,
Kotaraja-Entrop-Jayapura sekitarnya, Sentani-Doyo-Sabron (Kabupaten
Jayapura), Taja dan Juk Lereh (perkebunan kelapa sawit milik salah satu
perusahaan nasional).
Sementara itu, West
Papua National Coalition for Liberation Front mengeluarkan seruan kepada
masyarakat Papua untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014.
Sementara
itu, di Pos Polisi perbatasan RI-PNG Skouw, Papua, terjadi gangguan
keamanan yang dilakukan kelompok sipil bersenjata ke arah Pos Polisi,
tidak ada korban jiwa dan materiil dalam insiden tersebut. Tanggal 8
April 2014 di Sentani, Papua, terjadi aksi teror kepada warga berupa isu
akan adanya penyerangan yang dilakukan OTK menjelang pelaksanaan Pemilu
Legislatif 9 April 2014 sehingga mengakibatkan keresahan warga yang
tinggal di kawasan Kampung SP-V, Distrik Yapsi, Kabupaten Jayapura.
Parlemen Eropa Hormati Kedaulatan Indonesia
Dalam
masa sidang pleno awal Maret 2014, Parlemen Eropa telah meratifikasi
perjanjian Framework Agreement on Comprehensive Partnership and
Cooperation Between the Republic of Indonesia, on the one part and the
European Community and its Member States, of the other part
(Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement-PCA-RI-Uni Eropa)
tahun 2009. PCA RI-Uni Eropa sudah diratifikasi 27 negara anggota Uni
Eropa (UE).
PCA RI-UE merupakan perjanjian
payung yang mengatur kerja sama dan kemitraan secara komprehensif,
mendalam dan rinci antara RI-UE. Hubungan Indonesia-UE pasca PCA akan
diwarnai oleh pengembangan hubungan yang lebih melembaga dan mencakup
bidang kerja sama yang luas termasuk bidang politik, keamanan, counter
terrorism, ekonomi, perdagangan, investasi, pendidikan, sosial budaya
serta berbagai bidang strategis yang menjadi kepentingan bersama RI-UE.
PCA
RI-UE merupakan dokumen yang secara hukum mengikat bagi kedua belah
pihak. Dokumen juga mengatur penegasan dukungan UE baik negara anggota
maupun semua lembaga UE seperti Komisi Eropa dan Parlemen Eropa,
terhadap kedaulatan dan integritas wilayah NKRI.
Dukungan
penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah RI oleh Eropa adalah
suatu kewajiban hukum. Uni Eropa juga terikat secara hukum untuk tidak
mendukung gerakan separatis Indonesia dalam bentuk apapun juga.
Upaya-upaya
kelompok separatis untuk membuat kantor di negara-negara UE seperti
yang dilakukan Benny Wenda di Oxford Inggris adalah suatu hal yang
bertentangan dengan kewajiban hukum PCA RI-UE dan hukum internasional,
sehingga negara-negara UE yang terikat hukum akan melakukan tindakan dan
mencegahnya.
Sir Graham Watson dan Ana Gomes
bahkan sama-sama menyatakan Parlemen Eropa senantiasa mendukung keutuhan
NKRI, mendorong agar ada pemajuan dan perlindungan HAM serta masalah
kesejahteraan di Papua Barat dapat diselesaikan melalui dialog nasional
di antara para pemangku kepentingan di Indonesia dalam kerangka NKRI.
Oleh
karena itu, sejatinya upaya internasionalisasi masalah HAM Papua tidak
akan laku sama sekali, bahkan mereka yang memperjuangkan "kemerdekaan"
Papua sekalipun perlu mempelajari masalah referendum, karena ada
kesalahan konyol di pemikiran mereka bahwa referendum dilaksanakan untuk
memerdekakan Papua, sebab dalam perspektif Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), ternyata referendum bukan untuk separatisme, melainkan dialog
dalam kerangka negara yang menggelar referendum tersebut.
Sekali
lagi, masyarakat di Papua dan Papua Barat sebaiknya mendukung
upaya-upaya memajukan wilayahnya melalui otonomi khusus dan berbagai
program pemerintah lainnya, termasuk mendukung sepenuhnya pelaksanaan
Pemilu Presiden secara damai di Papua dan Papua Barat.
Serta
sebaiknya masyarakat Papua dan Papua Barat memilih calon presiden yang
dapat menyelesaikan permasalahannya, menjaga martabat Indonesia dan
tidak sekedar berani mengeluarkan kebijakan yang populis semata.
Pemimpin
Indonesia ke depan yang diperlukan Papua dan Papua Barat adalah yang
tegas, berani dan mampu menjaga integritas Papua bersama NKRI. Semoga.
*) Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar