Sekilas Tentang Buku OPM Karya Socratez S Yoman
Socratez
S Yoman yang memiliki nama asli Ambiek Godmend Ekmmban Yoman, telah
meluncurkan buku ke 9. Dan yang terakhir Ia meluncurkan buku dengan
judul Otonomi, Pemekaran dan Merdeka (OPM?). Apa isi buku tersebut?
Berikut ringkasan dari isi buku tersebut.
Dengan menggunakan caver warna merah bergambar orang asli Papua berpakaian koteka dan bersenjata laras panjang, Penulis memberi sub judul “Saatnya Kebenaran Bersuara di Tanah Melanesia”. Penulis pun mengutip dua statement Presiden RI Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono yang terkait dengan upaya menjawab permasalahan di Papua, yaitu ‘Bersama-sama mari kita serukan penolakan terhadap fitnah, berita-berita bohong, dan perilaku kasar yang melampaui kepatuta’ yang dikutip dari Kompas edisi 28 Desember 2009. Statmen berikutnya adalah yang merupakan perkataan langsung SBY tanggal 16 Agustus 2008, yaitu ‘Selesaikan masalah Papua dengan dialog damai, demokratis, jujur, adil dan bermartabat’. Dengan diberi pengantar oleh Prof. Ikrar Nusa Bhakti, buku setebal 136 halaman tersebut disusun dalam 6 BAB, yang membahas 57 pokok bahasan. Dalam pengantarnya, Profesor Riset bidang Intermestic Affair di Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), mengawali dengan mengungkap sejarah tanah Papua sejak dikuasai Belanda hingga cerita realita kehidupan di Tanah Papua, termasuk kerukunan umat beragama yang saling menghormati dan saling membantu dalam kegiatan social maupun acara-acara keagamaan. Sedangka tentang penulis buku ‘OPM?’ dikatakan bahwa buku-buku karya Socratez mendapat perhatian dari para peminat masalah Papua. “Sayang, hamper semua buku-buku itu dikategorikan sebagai buku terlarang oleh Kejaksaan Agung,” ungkap Ikrar Nusa Bhakti dalam pengantarnya.
Buku-buku Yoman, kata Prof. Ikrar, adalah suara hati seorang pelayan umat di Tanah Papua, meski belum dapat dikategorikan sebagai karya ilmiah. “Terlepas dari itu, buku-buku Yoman yang bukan buku ilmiah melainkan lebih sebagai ‘pamphlet politik’ ini tetap penting untuk dibaca. Karena berisi kesedihan, trauma, impian, serta gagasan mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun Papua,” lanjutnya.
Dalam Bab pendahukuan, Penulis menguraikan alan mengapa bukunya diberi judul OPM? (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka). Yakni, katanya adalah karena selama ini OPM adalah singkatan dari Organisasi Papua Merdeka.
“Saya menggumuli dan merindukan bahwa sudah saatnya stigma yang menindas, memenjarakan dan membunuh umat Tuhan ini harus dihapuskan,” ujar Pemulis masih dalam Bab Pendahuluan.
Dalam Bab yang membahas tentang ‘Otonomi’, penulis menguraikan dua UU Otonomi yang pernah diberlakukan di Indonesia. Yaitu : UU No. 12 Tahun 1969 yang membicarakan tentang pembentukan Provinsi maupun Kabupaten-Kabupaten Otonom di Irian Barat dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang pembahasannya lebih mendominasi.
Menurut Penulis, istilah otonomi bagi umat Tuhan di Tanah Papua bukan hal yang baru. Tentang UU Otsus Tahun 2001, Penulis mengawali dengan pertanyaan kenapa UU itu ada? Apakah itu itikad baik Indonesia terhadap orang Papua? Apakah Otsu situ kemauan orang Papua?
Yang langsung diberi jawaban, bahwa Otsus ditawarkan kepada rakyat Papua Barat sebagai penyelesaian menang-menang (win-win solution) tentang masalah status politik Papua, karena adanya tuntutan orang asli Papua untuk menentukan nasib sendiri (self determination).
Dalam Bab awal tersebut, Penulis juga mengutip statmennya di media massa local, yakni di Harian Bintang Papua, Pasific Pos dan Cendrawasih Pos. Namun tidak disebutkan edisi atau tanggal terbitnya, maupuan halaman dengan jelas, ketika berita yang dikutipnya dalam buku OPM? terbit.
Dalam Bab tentang Pemekaran, penulis mengutip perkataan Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Alm), yang dikutipnya dari Senat Mornao 2004:9, yaitu ‘Pemekaran Provinsi Papua adalah keputusan yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan rakyat Papua. Itu bukan pemecahan masalah, namun sumber masalah baru.
Juga terdapat kutipan dari dokumen sangat rahasia tentang operasi di Tanah Papua, yaitu surat yang dikeluarkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan Linmas. Yakni Nota dinas No. 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tangal 9 Juni 2000.
Penulis juga kembali mengutip dari bukunya terdahulu yang menggambarkan pemekaran kabupaten dan provinsi. Yakni digambarkan sebagai sangkar burung, kandang kelinci dan kandang kurungan ternak babi. Dalam bab ini, penulis mengakhiri dengan kutipan opini yang ditulisnya lewat media massa local Pasific Pos, yang berjudul Pemekaran Kabupaten/Kota dan Provinsi di Tanah Papua Barat adalah Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi Gaya Baru edisi 25 September 2009.
Dengan menggunakan caver warna merah bergambar orang asli Papua berpakaian koteka dan bersenjata laras panjang, Penulis memberi sub judul “Saatnya Kebenaran Bersuara di Tanah Melanesia”. Penulis pun mengutip dua statement Presiden RI Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono yang terkait dengan upaya menjawab permasalahan di Papua, yaitu ‘Bersama-sama mari kita serukan penolakan terhadap fitnah, berita-berita bohong, dan perilaku kasar yang melampaui kepatuta’ yang dikutip dari Kompas edisi 28 Desember 2009. Statmen berikutnya adalah yang merupakan perkataan langsung SBY tanggal 16 Agustus 2008, yaitu ‘Selesaikan masalah Papua dengan dialog damai, demokratis, jujur, adil dan bermartabat’. Dengan diberi pengantar oleh Prof. Ikrar Nusa Bhakti, buku setebal 136 halaman tersebut disusun dalam 6 BAB, yang membahas 57 pokok bahasan. Dalam pengantarnya, Profesor Riset bidang Intermestic Affair di Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), mengawali dengan mengungkap sejarah tanah Papua sejak dikuasai Belanda hingga cerita realita kehidupan di Tanah Papua, termasuk kerukunan umat beragama yang saling menghormati dan saling membantu dalam kegiatan social maupun acara-acara keagamaan. Sedangka tentang penulis buku ‘OPM?’ dikatakan bahwa buku-buku karya Socratez mendapat perhatian dari para peminat masalah Papua. “Sayang, hamper semua buku-buku itu dikategorikan sebagai buku terlarang oleh Kejaksaan Agung,” ungkap Ikrar Nusa Bhakti dalam pengantarnya.
Buku-buku Yoman, kata Prof. Ikrar, adalah suara hati seorang pelayan umat di Tanah Papua, meski belum dapat dikategorikan sebagai karya ilmiah. “Terlepas dari itu, buku-buku Yoman yang bukan buku ilmiah melainkan lebih sebagai ‘pamphlet politik’ ini tetap penting untuk dibaca. Karena berisi kesedihan, trauma, impian, serta gagasan mengenai apa yang sebaiknya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk membangun Papua,” lanjutnya.
Dalam Bab pendahukuan, Penulis menguraikan alan mengapa bukunya diberi judul OPM? (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka). Yakni, katanya adalah karena selama ini OPM adalah singkatan dari Organisasi Papua Merdeka.
“Saya menggumuli dan merindukan bahwa sudah saatnya stigma yang menindas, memenjarakan dan membunuh umat Tuhan ini harus dihapuskan,” ujar Pemulis masih dalam Bab Pendahuluan.
Dalam Bab yang membahas tentang ‘Otonomi’, penulis menguraikan dua UU Otonomi yang pernah diberlakukan di Indonesia. Yaitu : UU No. 12 Tahun 1969 yang membicarakan tentang pembentukan Provinsi maupun Kabupaten-Kabupaten Otonom di Irian Barat dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang pembahasannya lebih mendominasi.
Menurut Penulis, istilah otonomi bagi umat Tuhan di Tanah Papua bukan hal yang baru. Tentang UU Otsus Tahun 2001, Penulis mengawali dengan pertanyaan kenapa UU itu ada? Apakah itu itikad baik Indonesia terhadap orang Papua? Apakah Otsu situ kemauan orang Papua?
Yang langsung diberi jawaban, bahwa Otsus ditawarkan kepada rakyat Papua Barat sebagai penyelesaian menang-menang (win-win solution) tentang masalah status politik Papua, karena adanya tuntutan orang asli Papua untuk menentukan nasib sendiri (self determination).
Dalam Bab awal tersebut, Penulis juga mengutip statmennya di media massa local, yakni di Harian Bintang Papua, Pasific Pos dan Cendrawasih Pos. Namun tidak disebutkan edisi atau tanggal terbitnya, maupuan halaman dengan jelas, ketika berita yang dikutipnya dalam buku OPM? terbit.
Dalam Bab tentang Pemekaran, penulis mengutip perkataan Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (Alm), yang dikutipnya dari Senat Mornao 2004:9, yaitu ‘Pemekaran Provinsi Papua adalah keputusan yang tidak ada hubungannya dengan kebutuhan rakyat Papua. Itu bukan pemecahan masalah, namun sumber masalah baru.
Juga terdapat kutipan dari dokumen sangat rahasia tentang operasi di Tanah Papua, yaitu surat yang dikeluarkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Departemen Dalam Negeri, Ditjen Kesbang dan Linmas. Yakni Nota dinas No. 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000 tangal 9 Juni 2000.
Penulis juga kembali mengutip dari bukunya terdahulu yang menggambarkan pemekaran kabupaten dan provinsi. Yakni digambarkan sebagai sangkar burung, kandang kelinci dan kandang kurungan ternak babi. Dalam bab ini, penulis mengakhiri dengan kutipan opini yang ditulisnya lewat media massa local Pasific Pos, yang berjudul Pemekaran Kabupaten/Kota dan Provinsi di Tanah Papua Barat adalah Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi Gaya Baru edisi 25 September 2009.
Usulkan Lima Solusi Alternatif Penyelesaian Papua
Peluncuran
buku karangan Pdt. Socratez S Yoman berjudul OPM (Otonomi, Pemekaran
dan Merdeka). Acara ini juga menghadirkan Pdt. Herman Awom,S.Th dan
wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Matius Murib SH.
Pernyataan
tersebut, menurut penulis, adalah sudah merupakan representasi
(keterwakilan) pemahaman pemerintahdan juga kebanyakan rakyat Indonesia.
Penulis dengan tegas dan jelas menyatakan makna ‘Merdeka’ dalam
pembahaan bukunya tersebut, adalah kembali pada kemerdekaan dan
kedaulatan asli. “Artinya, leluhur dan nenek moyang orang Melanesia
orang asli Papua ini sejak dulu telah merdeka dan tidak pernah dijajah
dan dikuasai oleh bangsa-bangsa lain,” demikian ditegaskan penulis.
Lebih tegas lagi pada akhir aline ke-5, dikatakan bahwa, “Singkatnya, orang asli Papua mau bebas dan merdeka dari pendudukan dan penjajahan Indonesia,” tegasnya. Kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan dengan pengutipan mukadimah UUD 1945 yang dimaknai dan diterjemahkan sebagai keinginan orang Melanesia, yakni “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Setelah mengulas sejarah integrasi (oleh penulis disebut ‘aneksasi’) Papua ke dalam wilayah Indonesia, penulis juga menceritakan sejarah yang terjadi di Tanah Papua. Yakni peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 1961, keluarnya maklumat Presiden Soekarno yang terkenal dengan sebutan ‘Trikora’ 19 Desember 1961, perjanjian New York 1962, perjanjian Roma 30 September 1962, dan peralihan pemerintahan di Papua dari Belanda ke UNTEA (salah satu badan di PBB) 1 Oktober 1962 yang kemudian peralihan dari UNTEA ke Indonesia 1 Mei 1963, juga PEPERA 1969 (Act of Free Choice 1969).
Dalam tulisannya, juga dicantumkan sedikitnya 22 pernyataan protes dan pengakuan dari tokoh maupun pemimpi Negara, yang intinya menyatakan bahwa dalam pelaksanaan PEPERA terdapat kecurangan atau manipulasi, yang di akhir pembahasan tentang ‘Merdeka’ penulis mencantumkan deklarasi HAM PBB tentang hak penduduk asli tanggal 13 November 2007.
Bab 5, penulis menyimpulkan atas tulisan sebelumnya, dengan judul Indonesia gagal mengindonesiakan orang Papua. Dan di awal pembahasannya mengutip pernyataan mantan Presiden RI Soeharto (Alm) pada pertemuannya dengan tokoh-tokoh Papua, terutama Presidium Dewan Papua (PDP) yang dimediasi oleh anggota DPR RI Yoris Raweyai.
“Selama saya menjadi presiden, saya merasa gagal meng-Indonesia-kan orang Papua. Karena, pada awalnya, kami mengirim orang-orang buangan bekas-bekas PKI untuk merebut Papua. Orang-orang ini tidak menunjukkan watak kemanusiaan tapi watak dan perilaku kekerasan dan kekejaman yang tidak manusiawi terhadap orang Papua. Jadi sekarang ini, sudah era demokrasi dan lebih baik kalian berjuanglah dengan cara-cara demokratis,” demikin kutipannya.
Selanjutnya, Penulis menguraikan secara singkat apa yang dialami generasi tua orang asli Papua era 40-an, dan bagaimana pemikiran generasi muda orang asli Papua era 70-an. Juga pertanyaan tentang mengapa sulitnya meng-Indonesia-kan orang Papua?. Yang langsung dijawabnya dengan singkat, yaitu karena orang asli Papua adalah orang Melanesia, bukan orang Melayu.
Diuraikan juga tentang perbincangan Gubernur Papua (Irian Barat) yang pertama Elizer Yan Bonay (Alm) dengan Pangdam XVII Cenderawasih saat itu tentang rakyat Papua yang menyeberang ke PNG, juga perbincangan Mendagri dengan Gubernur Isaac Hindom (Am) dengan topic yang sama.
Penulis juga menguraikan tentang sejumlah orang Papua yang dikatakannya sebagai kelompok pendukung NKRI yang dipaksanakan. Serta pemikiran tentang sejarah dari sejumlah tokoh maupun anggota DPR RI termasuk Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda.
Di Bab terakhir , Penulis mengemukakan tentang seruan dialog damai, oleh sejumlah komponen, seperti Pemerintah Inggris, Gereja-gereja, LIPI, Akademisi dan cendekiawan Papua, anggota Kongres Amerika, komentar Penulis di media massa lokal tentang dialog .
Yang pada pokok tulisannya terakhir, adalah tentang solusi pemikiran dari Penulis, yang diawali dengan sebuah pertanyaan dari Penulis, yaitu ‘Apakah ada ruang yang memungkinkan bagi bangsa Indonesia yang dinilai sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dan berpenduduk mayoritas Islam ini untuk dapat mengukir sejarah di Negara-negara Asia dan Negara berkembang yang bermartabat, simpatik, terhormat, manusiawi, dan bermoral memberikan kesempatan kepada Bangsa Papua Barat untuk mengembangkan dirinya di atas tanah airnya sendiri?’
Alinea terakhir sebelum menuangkan usulannya, penulis menyatakan bahwa Orang Asli Papua mempunyai satu kerinduan, yaitu, pada abad 21 ini, orang asli Papua “mau menikmati setitik harapan dan cahaya” di tanah dan negeri mereka sendiri. Karena itu, solusi sebagai suatu alternatif yang diusulkan oleh penulis adalah :
1. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak menggunakan kekerasan militer dan berbagai kebijakan yang represif untuk menyelesaikan masalah Papua.
2. Pemerintah Indonesia diharapkan menghentikan usaha-usaha pengkondisian wilayah dan pembunuhan kebebasan dan demokrasi bagi orang asli Papua.
3. Pemerintah Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan masyarakat Internasional duduk berbicara atau berdialog secara adil untuk mencari solusi yang bermartabat, terhormat dan manusiawi.
4. Pemerintah Indonesia memberikan kemerdekaan kepada Papua Barat dengan berbagai komitmen kerja sama dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan.
5. Pemerintah Indonesia harus mengukir sejarah dalam era ini dan dengan cara membuktikan bahwa Negara berkembang yang mayoritas berpenduduk muslim juga mampu memberikan kesempatan kepada daerah yang diduduki dan dijajah untuk mengatur dirinya sendiri.(tamat)
Lebih tegas lagi pada akhir aline ke-5, dikatakan bahwa, “Singkatnya, orang asli Papua mau bebas dan merdeka dari pendudukan dan penjajahan Indonesia,” tegasnya. Kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan dengan pengutipan mukadimah UUD 1945 yang dimaknai dan diterjemahkan sebagai keinginan orang Melanesia, yakni “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Setelah mengulas sejarah integrasi (oleh penulis disebut ‘aneksasi’) Papua ke dalam wilayah Indonesia, penulis juga menceritakan sejarah yang terjadi di Tanah Papua. Yakni peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 1961, keluarnya maklumat Presiden Soekarno yang terkenal dengan sebutan ‘Trikora’ 19 Desember 1961, perjanjian New York 1962, perjanjian Roma 30 September 1962, dan peralihan pemerintahan di Papua dari Belanda ke UNTEA (salah satu badan di PBB) 1 Oktober 1962 yang kemudian peralihan dari UNTEA ke Indonesia 1 Mei 1963, juga PEPERA 1969 (Act of Free Choice 1969).
Dalam tulisannya, juga dicantumkan sedikitnya 22 pernyataan protes dan pengakuan dari tokoh maupun pemimpi Negara, yang intinya menyatakan bahwa dalam pelaksanaan PEPERA terdapat kecurangan atau manipulasi, yang di akhir pembahasan tentang ‘Merdeka’ penulis mencantumkan deklarasi HAM PBB tentang hak penduduk asli tanggal 13 November 2007.
Bab 5, penulis menyimpulkan atas tulisan sebelumnya, dengan judul Indonesia gagal mengindonesiakan orang Papua. Dan di awal pembahasannya mengutip pernyataan mantan Presiden RI Soeharto (Alm) pada pertemuannya dengan tokoh-tokoh Papua, terutama Presidium Dewan Papua (PDP) yang dimediasi oleh anggota DPR RI Yoris Raweyai.
“Selama saya menjadi presiden, saya merasa gagal meng-Indonesia-kan orang Papua. Karena, pada awalnya, kami mengirim orang-orang buangan bekas-bekas PKI untuk merebut Papua. Orang-orang ini tidak menunjukkan watak kemanusiaan tapi watak dan perilaku kekerasan dan kekejaman yang tidak manusiawi terhadap orang Papua. Jadi sekarang ini, sudah era demokrasi dan lebih baik kalian berjuanglah dengan cara-cara demokratis,” demikin kutipannya.
Selanjutnya, Penulis menguraikan secara singkat apa yang dialami generasi tua orang asli Papua era 40-an, dan bagaimana pemikiran generasi muda orang asli Papua era 70-an. Juga pertanyaan tentang mengapa sulitnya meng-Indonesia-kan orang Papua?. Yang langsung dijawabnya dengan singkat, yaitu karena orang asli Papua adalah orang Melanesia, bukan orang Melayu.
Diuraikan juga tentang perbincangan Gubernur Papua (Irian Barat) yang pertama Elizer Yan Bonay (Alm) dengan Pangdam XVII Cenderawasih saat itu tentang rakyat Papua yang menyeberang ke PNG, juga perbincangan Mendagri dengan Gubernur Isaac Hindom (Am) dengan topic yang sama.
Penulis juga menguraikan tentang sejumlah orang Papua yang dikatakannya sebagai kelompok pendukung NKRI yang dipaksanakan. Serta pemikiran tentang sejarah dari sejumlah tokoh maupun anggota DPR RI termasuk Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda.
Di Bab terakhir , Penulis mengemukakan tentang seruan dialog damai, oleh sejumlah komponen, seperti Pemerintah Inggris, Gereja-gereja, LIPI, Akademisi dan cendekiawan Papua, anggota Kongres Amerika, komentar Penulis di media massa lokal tentang dialog .
Yang pada pokok tulisannya terakhir, adalah tentang solusi pemikiran dari Penulis, yang diawali dengan sebuah pertanyaan dari Penulis, yaitu ‘Apakah ada ruang yang memungkinkan bagi bangsa Indonesia yang dinilai sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dan berpenduduk mayoritas Islam ini untuk dapat mengukir sejarah di Negara-negara Asia dan Negara berkembang yang bermartabat, simpatik, terhormat, manusiawi, dan bermoral memberikan kesempatan kepada Bangsa Papua Barat untuk mengembangkan dirinya di atas tanah airnya sendiri?’
Alinea terakhir sebelum menuangkan usulannya, penulis menyatakan bahwa Orang Asli Papua mempunyai satu kerinduan, yaitu, pada abad 21 ini, orang asli Papua “mau menikmati setitik harapan dan cahaya” di tanah dan negeri mereka sendiri. Karena itu, solusi sebagai suatu alternatif yang diusulkan oleh penulis adalah :
1. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak menggunakan kekerasan militer dan berbagai kebijakan yang represif untuk menyelesaikan masalah Papua.
2. Pemerintah Indonesia diharapkan menghentikan usaha-usaha pengkondisian wilayah dan pembunuhan kebebasan dan demokrasi bagi orang asli Papua.
3. Pemerintah Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan masyarakat Internasional duduk berbicara atau berdialog secara adil untuk mencari solusi yang bermartabat, terhormat dan manusiawi.
4. Pemerintah Indonesia memberikan kemerdekaan kepada Papua Barat dengan berbagai komitmen kerja sama dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan.
5. Pemerintah Indonesia harus mengukir sejarah dalam era ini dan dengan cara membuktikan bahwa Negara berkembang yang mayoritas berpenduduk muslim juga mampu memberikan kesempatan kepada daerah yang diduduki dan dijajah untuk mengatur dirinya sendiri.(tamat)
0 komentar:
Posting Komentar