Dimalam Hari 1 title

Dimalam Hari saat jalan santai di Kota Terincinta dan di tanah tercinta Papua.

Saat Menatap Lagit dimalam hari 2 title

Menatap malam yang indah, dimana saya duduk itulah tempatku.

Kompak bersama Sahabat 3 title

Kekompakan kami tak akan Goyah, sampai kapanpun.

Tiga Bersaudara 4 title

Kami adalah sahapat sejati ARMY.

Papua Map 5 title

Peta Tanah Papua, dan suara Tanah Papua.

Sabtu, 10 Mei 2014

Polisi bubarkan demonstran KNPB Papua dengan tembakan


Diperbaharui 24 October 2012, 7:53 AEST
Ketua KNPB Papua, Victor Yeimo kepada Radio Australia mengungkapkan sedikitnya 10 orang terluka dan beberapa di antaranya terkena luka tembak akibat upaya pembubaran aksi unjuk rasa itu.
Kepolisian Daerah Papua membubarkan aksi demonstrasi puluhan aktivis Komite Nasional Papua Barat, KNPB di Manokwari, Papua Barat dengan cara menembakan peluru ke arah demonstran.
Saat ini para korban dilarikan ke rumah sakit terdekat di kota Manokwari.
Dari rekaman video yang beredar di media, terlihat Polisi mengejar, memukul dan mengarahkan senjata api langsung ke arah demonstran.
Sejumlah aktivis yang berusaha lari, juga dikejar Polisi dan mendapat pukulan petugas.
Puluhan aktivis juga melawan dengan lemparan batu ke Polisi.
Victor menyampaikan, awalnya aksi unjuk rasa aktivis KNPB di Manokwari berjalan damai sampai ada provokasi dari Kepolisian yang memaksa agar unjuk rasa damai dibubarkan.
“Tidak ada larangan di negeri ini untuk melakukan demonstrasi damai,” jelas Victor.
Aksi unjuk rasa itu sendiri ditujukan sebagai dukungan atas sidang International Lawyer for West Papua yang berlangsung di Inggris.
Menurut Victor, Polisi juga ,menangkapi aktivis KNPB di kota-kota lainnya di Papua.
“Teman kami dari KNPB di Sorong, Fak Fak, Jayapura, Timika, di Biak juga ditangkap,” kata Victor.
Sementara itu, Kepolisian Daerah Papua kepada televisi lokal menyesalkan sampai terjadinya bentrokan.
Kepolisian juga mengklaim korban luka mencapai 8 orang. Empat di antaranya adalah polisi.

WEST PAPUA LIBERATION ORGANIZATION

Manokwari - Papua Barat. Email: admin@oppb.org; URL: www.oppb.webs.com; www.oppb.org

Artikel Papua

DEKLARASI PBB TENTANG HAK-HAK PRIBUMI

Posted on June 27, 2013 at 3:05 PM
SEJARAH PERKEMBANGAN LAHIRNYA DEKLARASI PBB TENTANG HAK-HAK PENDUDUK ASLI (PRIBUMI).
Writen by John Anari, ST
Translate by Ronald Waromi

 Masyarakat   Pribumi   (Bahasa   Inggris:   Indigenous   Peoples)   adalah sekelompok   masyarakat   yang   hidup   di   suatu   tempat   sebelum   adanya kedatangan bangsa-bangsa luar. 
Mereka  memiliki  hak  atas  tanah  dan  kekayaan  alamnya  sebagai  peninggalan dari Nenek Moyang mereka.
Diperkirakan ada sekitar 300 (Tiga Ratus) Juta Indigenous Peoples (IP) yang menempati wilayah permukaan bumi ini, seperti Penduduk Pribumi Aborigin dari Australia, Penduduk Pribumi Indian dari Amerika, dll. Tuhan  telah  menciptakan  manusia  dan  memberi  tempat  kepada  mereka masing-masing  namun  bagi  mereka  yang  memiliki  banyak  kekayaan  alam akan menjadi rebutan setiap bangsa-bangsa seperti tertulis dalam kita Ulangan di atas.
     Menurut dua orang Pendeta Spanyol (Fransisco Victoria dan Bartholomeo) yang  berlayar  bersama-sama  dengan  para  Penakluk  Dunia  (Conquistadores), mereka menyatakan bahwa Penduduk Asli Amerika memiliki Hak yang sama seperti  kami  bangsa  Spanyol  karena  pada  waktu  itu,  mereka  (bangsa  Eropa) manganggap bahwa orang-orang di luar mereka adalah orang-orang yang tidak beradab (Uncivilized) untuk dijadikan sebagai objek jajahan. Dan hingga saat ini  pun,  banyak  orang  kulit  putih  menganggap  bahwa  orang  kulith  hitam adalah orang-orang yang tidak beradab juga.
     Apa  yang  dikatakan  oleh  mereka  berdua  terus  menggema  dalam  sejarah dunia sehingga pada tahun 1948, Masyarakat Internasional telah menyepakati disusunnya  Deklarasi  Universal  Hak  Asasi  Manusia  secara  Umum  pada tanggal 10 Desember 1948 untuk penghapusan Penjajahan di muka bumi.  Namun  pada  kenyataannya,  ternyata  masih  ada  beberapa  daerah  yang  masih  merasa  terjajah  walaupun  setelah  terbentuknya  Perserikatan  Bangsa-Bangsa (United Nations) dan Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Asasi Manusia (United Nations Universal  Declaration on Human Rights).
Mereka yang merasa terjajah ini umumnya adalah Masyarakat Pribumi karena tenaga  mereka  dipakai  sebagai  pekerja  paksa  demi  kepentingan  negaranya. Oleh   sebab   itu,   UN   of   ILO   (United   Nations   of   International   Labour Organization)   atau   Organisasi   Buruh   Internasional   Perserikatan   Bangsa Bangsa   (PBB)   berusaha mengkondisifikasikan   hak-hak   Penduduk   Asli (Indigenous Peoples), khususnya yang berhubungan dengan ketenaga kerjaan.
Instrument  yang  pertama  kali  disusun  oleh  UN  of  ILO  tentang  subyek  ini adalah  Indigenous  and  Tribal  Population  Convention  No.  107  Tahun  1957. Konvensi  ini  memuat  hak-hak  Indigenous  Peoples  (IP)  atas  Tanah  mereka, Kondisi  Kerja,  Kesehatan,  dan  Pendidikan  Masyarakat  Pribumi.  Hingga  kini tercatat  lebih  dari  27  Negara  yang  meratifikasikan  Konvensi  ini.  Kemudian dilengkapi  lagi  dengan  Convention  No.  169    yang  lebih  menegaskan  bahwa cara hidup IP harus dipertahankan. Selain itu juga menegaskan bahwa IP dan lembaga-lembaga   mereka   harus   dilibatkan   dalam   segala   keputusan   dan perencanaan  pembangunan  yang  akan  mempengaruhi  hidup  mereka.  Hingga kini sudah lebih dari 10 negara yang meratifikasikan konvensi ini. Oleh karena itu, UN of ILO membentuk dua bidang konsentrasi untuk membantu IP  yaitu Indisco Programme (Untuk membantu peningkatan ekonomi IP) dan Political and  Human  Rights  (Untuk  membantu  penyelesaian  masalah-masalah  Politik dan  Hak  Asasi  Manusia).  Instrument  hukum  internasional  lain  yang  sedikit  menyinggung  tentang  hak-hak  IP  adalah  Convention  on  Biodiversity  Tahun 1992. Konvensi ini lebih menekankan pemanfaatan pengetahuan, inovasi, dan teknik-teknik   tradisional   untuk   melestarikan   keanekaragaman   biologis.
Penjabaran  selanjutnya  dari  Deklarasi  Umum  tentang  Hak  Asasi  Manusia untuk    melindungi    hak-hak    masyarakat    Pribumi    yaitu    dikeluarkannya International    Convention    on    Civil    and    Political    Rights    (Perjanjian Internasional  tentang  Hak-hak  Sipil  dan  Politik)  tahun  1966. (27)
Konvensi  ini cukup  signifikan  dalam  konteks  perlindungan  terhadap  hak-hak  Masyarakat Pribumi. Kemudian dengan Resolusi President Majelis Umum PBB (General Assembly Resolution)   no.   49/214   tanggal   23   Desember   1994   memutuskan   untuk perayaan Hari Internasional Masyarakat Pribumi setiap tanggal 9 Agustus dan tahun 1994 adalah sebagai Tahun Internasional Pribumi.
     Kemajuan yang lebih dasyat lagi yaitu setelah dibentuk Working Group on Indigenous  Population  (WGIP)  dibawah  Komisi  HAM  PBB  (United  Nation Organization  High  Commissioner  for  Human  Rights)  sehingga  melahirkan United  Nations  Permanent  Forum  on  Indigenous  Issues  (UN  of  PFII)  yang disahkan  pada  tanggal  28  Juli  2000  oleh  Dewan  Ekonomi  dan  Sosial  PBB (United  Nation  of  Economic  and  Social  Council)  dengan  Resolusi  No. 22/2000. Amanat Forum Permanent ini adalah untuk membahas isu-isu yang  berhubungan  dengan  Pembangunan,  Ekonomi,  Sosial,  Budaya,   Pendidikan, Lingkungan  Hidup,  Kesehatan  dan  Hak  Asasi  Manusia  Pribumi.  Sidang Pribumi di forum Permanent PBB (UN of PFII) pertama diadakan pada bulan Mei Tahun 2003 di Markas Besar PBB. Sidang ini akan diadakan setiap tahun setiap  bulan  Mei  langsung  di  Markas  Besar  PBB,  New  York  –  Amerika Serikat.
     Instrument  yang  komprehensif  tentang  perlindungan  hak-hak  IP  dimuat  dalam United Nations Draft Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Pribumi) yang berhasil disusun pada  tahun  1994  oleh Sub-Commission  on  Protection  of  Discrimination  and Promotion  of  Minority  (Sub  Komisi  Pencegahan  Diskriminasi  dan  Promosi Kaum  Minoritas).  Sub  Komisi  ini  berada  di  bawah  UN  of  OHCHR  (United Nations   of   Organization   High   Commissioner   for   Human   Rights)   atau Organisasi Komisi Tinggi HAM PBB yang berkedudukan di Genewa, Swiss.
Draft  Deklarasi  ini  telah  berhasil  disahkan  pada  tanggal  23  September  2007 pada Sidang Umum PBB ke-61 di Markas Besar PBB, New York – Amerika Serikat dengan Keputusan Majelis Umum PBB No. A/Res/61/295 yang terdiri  dari 46 Pasal.
     Deklarasi  PBB  tentang  Hak-hak  Pribumi  berhasil  dengan  suara  terbanyak 144  Negara  mendukung,  4  menolak,  dan  11  abstain.  Ke-4  negara  yang menolak  adalah  Negara  bekas  koloni  Inggris  yaitu  Amerika,  Australia, Selandia  Baru  dan  Canada.  Negara-negara  yang  abstain  adalah  Azerbajian, Bangladesh,  Bhutan,  Burundi,  Kolombia,  Georgia,  Kenya,  Nigeria,  Rusia, Samoa, dan Ukraina. Sedangkan 43 Negara Anggota PBB lainnya tidak hadir  dalam pemungutan suara tersebut.
 Download Deklarasi di sini: 
http://www.un.org/esa/socdev/unpfii/documents/UNDRIP_Bahasa_Indonesian.doc

Footnote:                                                
27
 Arie Siswanto (Dosen   Hukum Internasional Universitas Kristen Satya Wacana – Salatiga). Bahan Diskusi  Sehari  di  Forum  Solidaritas  Mahasiswa  Irian  Jaya  (FOSMI)  Salatiga  tentang  Haka-hak Masyarakat Asli Dalam Perspektif Hukum International. Hal. 7.

Organisasi Pembebasan Papua Barat (OPPB)


 
Organisasi Pembebasan Papua Barat (OPPB) adalah Organisasi yang bertujuan Mempromosi Hak Bangsa Papua Barat Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri berdasarkan pasal 3 dari Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Asasi Masyarakat Pribumi melalui Resolusi Majelis Umum PBB nomor: A/Res/61/295 pada Sidang ke-61 Tanggal 13 September 2007 serta Kovenan International tentang Hak-hak Sipil & Politik Pasal 1.. Organisasi ini mulanya didirikan pada tanggal 22 Juli 2002 di Asrama Putra Universitas Cenderawasi Jayapura unit 2, PERUMNAS III Waena dengan nama AWPISY (Association of West Papua Indigenous Students and Youth) atau dalam bahasa Melayu: Perhimpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Pribumi Papua Barat. Kemudian dikembangkan menjadi OPPB pada tanggal 25 Desember 2008 di Manokwari dan dideklarasikan pada tanggal 9 Agustus 2009 di pulau Mansinam lewat acara Ibadah Syukuran bersamaan dengan Perayaan Hari Internasional Pribumi. Organisasi ini Resmi terdaftar di Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN of ECOSOC). Hingga kini baru terdaftar sekitar 30 Organisasi Pribumi di PBB. Organisasi ini secara resmi bekerja di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (UN of OHCHR), Organisasi Buruh PBB (UN of ILO), Organisasi PBB untuk Pengungsian (UNHCR), Dewan Ekonomi dan Sosial (UN of ECOSOC), Sidang Forum Permanent PBB untuk Masyarakat Pribumi (UNPFII), Group Kerja Masyarakat Pribumi (Working Group of Indigenous Populations), Bank Dunia (Work Bank), Komisi Anti Kekerasan PBB (Unation Nation of Committe Aignts Torture), dll. Dan secara resmi lagi, didaftarkan sebagai organisasi Pribumi dibawah naungan UN of ECOSOC sehingga kedudukan Organisasi ini sama seperti Organisasi-organisasi Internasional PBB (IO) dan NGO.
OPPB berpusat di Manokwari dan dibantu oleh beberapa cabang lainnya di seluruh kabupaten se-Propinsi Papua dan Papua Barat, yaitu Manokwari, Serui, Biak, Sorong, Nabire, Fak-Fak, Merauke, Puncak Jaya, Bintuni, Sorong Selatan, Pegunungan Bintang Wamena, Timika, dan beberapa daerah Pemekaran Kabupaten baru.
Info lengkap Tentang Sejarah Papua dan Dasar Hukum Perjuangan Organisasi dapat di lihat di
Download Analisis Konflik Papua di: http://oppb.webs.com/Konflik_Papua.pdf
Download Brosur OPPB di sini : Brosur OPPB
Download Buletin PEPERA 1969 di Papua di sini: Buletin PEPERA 1969
Download West Papua History in here: Western New Guinea
Download Deklarasi PBB tentang Hak-hak Penduduk Pribumi di sini: UU Pribumi
Download Ratifikasi Kovenan Internasional di Undang-Undang No. 12 Tahun 2005
PLEASE SEE OUR DOCUMENT TO UN SPECIAL REPORTER OF INDIGENOUS PEOPLES IN TENTH SESSION OF UNITED NATIONS PERMANENT FORUM ON INDIGENOUS ISSUES, IN UN HEADQUARTER - NEW YORK ON 20 MAY 2011 10.00 - 10.30 AM.

Jumat, 25 April 2014

Don't Spoil My Beautiful Face: Media, Mayhem and Human Rights in the Pacific



 
Don't Spoil My Beautiful Face: Media, Mayhem and Human Rights in the Pacific
By David Robie
Foreword by Kalafi Moala

    
New title from
Little Island Press ‐ launch date 24 April 2014

Available for pre-order now


Interview on YouTube

Pacific studies | Politics | Media studies   

David Robie has been committed to developing quality journalism in the Pacific, and especially in developing a “Pacific brand” of journalism.
- Kalafi Moala, deputy chair, Pasifika Media Association (PASIMA)

A timely media revisitation of the bloody conflicts and atrocities that have plagued this vulnerable Pacific region. An invaluable resource for journalists and journalism students.
- Shailendra Singh, University of the South Pacific

David Robie has been an impassioned chronicler of Pacific currents for decades … from the bloody independence struggles of the 1980s to the attempts to chart a nuclear-free course.
- Mark Revington, editor of Te Karaka, the voice of Ngai Tahu

An excellent sweep through the recent history of the Pacific and elsewhere constructed around the story of the author’s life.
- Professor Stewart Firth, Australian National University
“This is an extraordinary ‘secret history’ of a vast region of the world of which David Robie has been a rare expert witness. What makes this epic work so timely is that it allows us to understand the Asia-Pacific at a time of renewed Cold War ambitions and dangers.”
- John Pilger, global investigative journalist

Don’t Spoil My Beautiful Face introduces readers to reportage of major Asia-Pacific socio-political and environmental issues over three decades by an independent journalist and media educator. It examines contemporary media concepts such as critical development journalism, conflict-sensitive journalism and deliberative journalism. And it argues for a more comprehensive, reflective and in-depth media response to the region’s challenges from Tahiti Nui and Polynesian nations in the east to Papua New Guinea, Indonesia, the Philippines, Timor-Leste and West Papua in the west.

The author reported on the conflict between France and Kanak activists in New Caledonia that almost ended in civil war. He was harassed by French secret service agents and arrested at gunpoint. He was on board the original Rainbow Warrior on her last voyage that ended with the bombing by French state terrorists in 1985. He has reported on coups in Fiji and the Philippines, and was a media educator in Suva in 2000 when his students provided award-winning coverage of an attempted coup.

Dr David Robie is director of the Pacific Media Centre and professor of journalism in Auckland University of Technology’s School of Communication Studies. He is the author of Eyes of Fire: The Last Voyage of the Rainbow Warrior and Mekim Nius: South Pacific Media, Politics and Education. He is also founding editor of Pacific Journalism Review, convenor of Pacific Media Watch and publishes the media blog CafĂ© Pacific.
New Pacific media 'mayhem' book likened to real-life 'Game of Thrones'



 

WEST PAPUA: Indonesian militias stage 'bloody' response to peaceful boycott call



West Papuan activists raise the Morning Star flag on the border with Papua New Guinea before a shootout with the Indonesian military Image: Tabloid Jubi
Thursday, April 10, 2014
Item: 8553
JAYAPURA (Pacific Media Watch / The Jakarta Post / West Papua Daily / Radio New Zealand International): The Indonesian military and police have embarked on a "bloody surge of violence" in response to the peaceful boycott of the parliamentary elections called by the Free West Papua Campaign, claim advocates.

Indonesia's parliamentary elections were held on Wednesday, and the presidential elections will be held on 9 July 2014.


The
Free West Papua Campaign says that no matter who wins, the Indonesian military occupation of West Papua will continue. They called for a peaceful boycott of the elections.

But this week, Tersisius Gebze, the vice-chairman of the West Papua National Committee [KNPB] in Payum, Merauke was "brutally attacked and tortured along with many other KNPB members by a mob of suspected pro-Indonesian "Red and White" militia of the same kind as were involved in atrocities in East Timor".


According to the campaign, the Indonesian militia chanted during the attack "these houses are owned by people who are pro-independence so they must be destroyed!"


The campaign said that there had been a "bloody surge of violence against the indigenous Papuans in the last few weeks which we believe to be orchestrated by the Indonesian military and intelligence".


Four West Papuans were murdered, 12 more tortured and left with horrific wounds, another five West Papuan youth stabbed with bayonets by the Indonesian police and the gravesite of former West Papuan freedom fighter Mako Tabuni burned down, said the campaign.


'Making noise'

Stanley Iko from the Free West Papua Campaign told Radio New Zealand International today that the United Nations must help West Papua's people.

"The United Nations is going to come in and help the West Papuans. You know, everywhere in the world if there are gunshots or a massacre or somebody has been murdered, around the world people get up from their seats and jump up and down and you know, start making a lot of noise. In West Papua, nothing. Nothing of that sort. The reason why they hoisted the UN flag is because they want them to come in now and have a look at their case of West Papua" Iko said.


The biggest opposition party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) had an unofficial lead in the parliamentary elections held on Wednesday.


Jakarta Governor Joko "Jokowi" Widodo, the Indonesian Democratic Party of Struggle’s (PDI-P) presidential candidate, has previously said he would end the ban on international journalists visiting Papua if he became president.


Presidential candidate Prabowo Subianto of the Gerindra Party and Jokowi's main opponent told
The Jakarta Post yesterday that if he wins the Indonesian presidential election on 9 July 2014, he too would allow international journalists into Papua.

"There is no reason foreign journalists should be banned from Papua if there are no existing laws that support it," Prabowo said.


However, neither candidate has ever said that they would free West Papua from Indonesian rule.


Widodo visited West Papua last week and
stopped well short of promising indigenous West Papuans freedom, saying instead: “I understand that Papua’s problems should be solved with heart, with real work. I’m not going to promise you too many things, but Papua’s resources should be used for Papuans’ own well-being".

Share Seruan 1 Mei, PBB Lalai Mendekolonisasi West Papua

Saat-Saat Aneksasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) gagal melaksanakan proses dekolonisasi di West New Guinea (West Papua). Sebaliknya, PBB berhasil menjebloskan West Papua kedalam kungkungan kolonial Indonesia sejak 1 Mei 1963. Sudah 51 tahun lamanya PBB mengabaikan dan membiarkan West Papua terjajah dan menderita. 1 Mei 2014, rakyat West Papua memperingati dan menuntut Dewan Perwalian PBB (Trusteeship Council) memenuhi hak penentuan nasib sendiri (the right of self-determination) bagi bangsa Papua, diatas teritori West Papua.
Bahwa rakyat West Papua sudah memanifestokan kemerdekaannya 1 Desember 1961, tetapi Indonesia, AS dan PBB telah menghancurkannya dengan nafsu ekspansi dan exploitasi teritori West Papua melalui aneksasi 1 Mei 1963. Ini bukti pengingkaran PBB terhadap hak penentuan nasib sendiri yang sedang digalang oleh Parlemen West Papua (Niuew Guinea Raad) saat itu.
Setiap tanggal 1 Mei, Penguasa Indonesia dan AS merayakan keberhasilannya menjajah dan mengeksploitasi West Papua, tetapi rakyat West Papua memperingatinya sebagai awal penderitaan dan penghancuran manusia dan alam Papua.
PBB, Indonesia, Belanda dan AS seharusnya -dengan semangat dekolonisasi- mendorong inisiatif kemerdekaan Papua yang diprakarsai oleh wakil-wakil bangsa Papua (Parlemen West Papua) 1 Desember 1961, tetapi mereka justru melahirkan neo kolonialisme Indonesia melalui peralihan kekuasaan administrasi dari kolonial Belanda kepada kolonial baru, yakni Indonesia pada 1 Mei 1963.
Rakyat dunia, termasuk rakyat Indonesia, harus melawan dan menghancurkan penjajahan diatas dunia, dan mendorong kemerdekaan bagi wilayah jajahan -termasuk West Papua- sesuai Resolusi PBB 1514 (XV) dan resolusi 1541 (XV), guna tercipta persaudaraan rakyat dunia yang damai.
Komite Nasional Papua Barat [KNPB] memanggil solidaritas masyarakat dunia untuk kemerdekaan West Papua. Kami juga berharap anggota-anggota Parlement Negara dan Partai di seluruh dunia bergabung dalam International Parliamentarians for West Papua (IPWP) melalui www.ipwp.org, dimana saat ini 80an anggota sudah tergabung dan menandatangani deklarasi hak penentuan nasib sendiri bagi West Papua.
KNPB menyerukan rakyat West Papua agar meliburkan diri dan memperingati 1 Mei 1963 dengan aksi-aksi terbuka, ibadah, dan atau mimbar bebas dengan tujuan merefleksi dan menolak 51 tahun penindasan dibawa neo kolonialisme Indonesia.
“Kita Harus Mengakhiri”

Kamis, 24 April 2014

Oposisi PNG: Ini Masalah Penentuan Nasib Sendiri West Papua


April 16, 2014 By: admin Category: Internasional, News
Add caption
Belden Namah
Jayapura, KNPBnews – Pemimpin Oposisi Papua New Guinea (PNG), Belden Namah mengatakan Pemerintahan PNG, Peter O’neill gagal mengatasi ketegangan di Perbatasan West Papua-PNG. Ia mengatakan masalah West Papua adalah masalah hak penentuan nasib sendiri, bukan soal perdagangan.
“Ini adalah masalah yang sama sekali berbeda, itu masalah tentang identitas, itu masalah tentang tanah, tanah air. Jadi Anda tidak dapat mencampur isu-isu tersebut, Anda harus menangani mereka secara terpisah. Jika isu tentang perdagangan, itu adalah masalah yang sama sekali berbeda, itu adalah perdagangan antara Papua Nugini dan Indonesia, tapi kalau itu isu tentang Papua Barat, ini tentang penentuan nasib sendiri. “ Kata Belden kepada Radio News Zealand (15/4) kemarin.
Belden yang berasal dari daerah pemilihan Vanimo Green ini menyatakan Militer Indonesia telah masuk ke Wilayah PNG untuk memburu pejuang West Papua dan menakuti rakyat PNG dekat perbatasan dan hal itu sudah melanggar perjanjian perbatasan RI-PNG.
Sebelumnya, pada 6 April lalu, pengungsi West Papua mengibarkan Bintang Fajar bersama bendera PBB di perbatasan meminta intervensi PBB ke West Papua. Gabungan TNI/Polri merespon dengan tembakan yang menyebabkan baku tembak selama 15 Jam dengan pasukan Tentara Revolusi West Papua (TRWP).
Atas insiden baku tembak itu, PNG Defence Force dan TNI telah menyepakati investigasi gabungan. Peter O’neil melalui Kepala PNGDF telah mengirim pasukannya ke perbatasan untuk mengejar TRWP. Pengungsi West Papua di perbatasan dikejar.
Sementara itu, Pemimpin Papua Merdeka di London, Benny Wenda melalui pernyataan persnya menyeruhkan solidaritas dunia dan PBB untuk segera intervensi dalam masalah West Papua, terutama dalam merespon keslamatan pengungsi West Papua di Vanimo.
Sehari setelah insiden baku tembak di Perbatasan, Belden Namah secara tegas melalui press releasenya mengatakan PNG berkewajiban untuk mengangkat persoalan West Papua di forum internasional.
“West Papua bukan Asia, tetapi Melanesia. Indonesia telah memperlakukan orang West Papua seperti binatang. PNG mmiliki kewajiban moral untuk mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua”, tegas Belden Namah yang merupakan mantan Gubernur Provinsi Sandaun. (wd)

KOLEKSI FOTO

|